Biasanya tarian badaya digelar dalam upacara kenegaraan di pemerintahan,
baik kabupaten maupun kota. Namun kali ini, tari badaya ditarikan di
sebuah gedung teater tertutup berkapasitas 650 orang untuk menyambut
para siswa SMA yang sengaja diundang untuk memberikan apresiasi.
Pasalnya, sudah dipastikan anak-anak SMA ini belum pernah menyaksikan
tari badaya, yakni sebuah tarian yang termasuk dalam rumpun tari wayang.
Mereka biasanya menyaksikan modern dance, boyband, dan girlband. Tapi
saat disuguhi tarian yang termasuk tarian menak, para siswa banyak yang
terbengong-bengong. Bahkan ada yang enggan mengedipkan matanya. Melotot
terus seolah tidak mau lepas satu gerakan pun. Tentunya hal ini
merupakan suatu yang positif bagi perkembangan tarian tradisional.
Para penari tampil mengenakan kostum berwarna biru muda dipadu kain
batik rereng pakis menambah keanggunan para penari. Mereka menari
mengikuti irama gamelan yang ditabuh secara live. Gerakan pokok menari
pun mereka suguhkan, seperti adeg-adeg, jangkung ilo, mincid, keupat,
gedut, kiprahan, tindak tilu, engkek gigir, mamadapan, dan calok
sembahan. Semua disuguhkan ngaguluyur sehingga tarian tersebut begitu
indah.
Tari badaya mengandung karakter putri Sunda mencerminkan pribadi yang
energik, adaptif, dan inovatif dalam membangun sisi femininnya. Ini
dapat dibedakan dengan tarian putri dari Jawa dan Bali. Karakter putri
Jawa lebih mengutamakan kehalusan, keteraturan, dan pengendalian dalam
mewujudkan sikap feminin. Sedangkan karakter putri Bali mengutamakan
kontras dan kemandirian dalam mewujudkan sisi femininnya. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa nilai-nilai feminitas dalam ketiga
wilayah budaya yang mempunyai persamaan akar sejarah ini telah
berkembang dan diwarnai oleh napas budaya masing-masing.
Di tanah Sunda atau Priangan ada perbedaan tentang tari badaya, yakni
berdasarkan penciptanya. Pertama tari badaya karya R. Sambas lahir dari
kalangan menak dan termasuk ke dalam rumpun tari keursues. Kedua tari
badaya karya Iyus Rusliana yang lahir dari cerita pewayangan sehingga
termasuk ke dalam rumpun tari wayang. Akan tetapi, kedua tarian ini
mempergunakan lagu yang sama sebagai musik pengiringnya, yaitu lagu
"Kawitan Batarubuh" dan "Naik Lagu Badaya".
Terciptanya tarian badaya karya R. Sambas karena ada keinginan untuk
mencoba mencari suasana baru dengan menampilkan wanita sebagai penari,
namun bukan berarti tidak ada tarian wanita. Hanya yang menariknya
hampir selalu dilakukan oleh laki-laki. Sedangkan tari badaya karya Iyus
untuk merefleksikan keberadaan perempuan dalam sebuah tarian wayang.
Persamaan dan perbedaan lainnya secara fisik dapat dilihat dari
gerakan-gerakannya dan penataan kostum. Kedua tarian ini memiliki
kelebihan dan kekhasan masing-masing dan dapat hidup berdampingan dalam
mengisi kekhasan tari-tarian di Jawa Barat dan semoga akan terus
berlangsung hidup sesuai dengan keadaan dan kemajuan zaman.